SEJAK permulaan, manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki
dan perempuan disebut sebagai Adam (tanah) dan Hawa untuk menjelaskan kodrat
manusiawinya yang rapuh, yang tidak bisa sendiri, harus senantiasa
disempurnakan baik oleh rahmat Tuhan maupun oleh yang lain. Keduanya diciptakan
secitra dengan Allah, diberkati dan diberi kuasa untuk 'menaklukkan' dunia
(Kejadian 1:28). Penaklukan dunia dimengerti sebagai upaya memelihara, menata
dan mengolah dunia seturut kehendak Pencipta. Penaklukkan sama sekali tidak
berarti pendominasian seseorang (the I) terhadap yang lain sebab segenap
makhluk berada dalam harmoni ciptaan yang saling menyempurnakan. Laki-laki dan
perempuan ada dan berada di tengah dunia untuk maksud ini. Keberadaan mereka
membuat dunia yang semula anonim menjadi terang, dimengerti dan diidentifikasi.
Adanya mereka adalah ada untuk memberi makna kepada dunia.

Dasein Heidegger yakni berada di tengah dunia, mencoba menjelaskan makna yang
diberikan manusia terhadap dunia setelah momen keterlemparannya. Menurutnya,
dunia hanya dapat dimengerti dan dimaknai oleh manusia. Ia berada tepat di
tengah-tengah bukan untuk mendominasi ataupun mengembalikan segala sesuatu
kepada dirinya (totum) tetapi untuk memahami apa yang mesti dilakukan terhadap
yang lain di sekitarnya. Di sini, eksistensi manusia menuntut sebuah tanggung
jawab besar terhadap alam dan sesamanya. Ia menanggung sebuah jawaban pasti
terhadap yang lain di hadapannya. Laki-laki dipanggil untuk menjaga, melindungi
dan akhirnya bersatu dengan perempuan partner hidupnya. Perempuan dipanggil
untuk hidup berdampingan secara damai dengan laki-laki tanpa ada 'penaklukan'
yang sesungguhnya, sebab rusuk itu telah menyetarakan keduanya. Panggilan
mereka adalah panggilan untuk memelihara harmoni universum yang sejak permulaan
penciptaan telah ditata sedemikian menakjubkan oleh Allah. Laki-laki dan
perempuan dengan demikian berada dalam kesetaraan martabat yang tidak bisa
dianulir oleh apa dan siapapun. Kesetaraan martabat mereka didasari oleh kodrat
penciptaan: bahwa Allah menjadikan keduanya secitra denganNya (Kej. 1:26), dan
dari rusuk laki-laki dibangunNyalah seorang perempuan (Kej 1: 22).

Kesetaraan ini pada hemat kami, sama sekali tidak menyangkal perbedaan kodrati
yang ada pada keduanya. Perbedaan kodrati laki-laki dan perempuan terlahir
darialam mereka yang berbeda. Perempuan memiliki kemungkinan alamiah untuk
menjadi ibu/melahirkan, sementara laki-laki memiliki kesanggupan untuk bekerja
fisis secara lebih berat. Namun perbedaan yang ada sebagai penentuan alam harus
dipakai untuk saling melengkapi dan bukan untuk saling menindas. Refleksi atas
perbedaan yang ada, membawa kita kepada kesadaran baru bahwa setiap pribadi
khas dalam dirinya dan memiliki perannya sendiri dalam mengembangkan dunia.
Dunia justru semakin menarik untuk dilakoni ketika disadari betapa pentingnya
kekhasan/perbedaan yang ada pada setiap pribadi. Mereka dapat saling menjaga
dan menyempurnakan. Mereka dapat saling memberi dan menerima. Mereka juga dapat
saling mengakui kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tidak ada yang menjadi
tuan atau budak atas yang lain. Dalam terang ini, Matthew Henry pernah berkata:
"Hawa bukan diambil dari kaki Adam untuk menjadi budak belianya. Bukan pula
dari kepalanya untuk menjadi tuannya, melainkan dari sisinya untuk menjadi
temannya, di bawah lengannya supaya terlindung dan dekat jantungnya untuk
dikasihi".

Henry sebenarnya menegaskan posisi perempuan di tengah dunia. Secara kodrati,
laki-laki dan perempuan diciptakan sederajat. Perempuan dibentuk dari rusuk
lelaki, yang diambil dari sisinya, bukan kepala atau kaki. Perempuan diciptakan
justru sebagai partner kaum lelaki dan bukan hamba atau tuannya. Tak ada klaim
yang dapat membantah kebenaran ini. Penyangkalan terhadap keberadaan dan
martabat perempuan merupakan penyangkalan terhadap kodrat penciptaan

Realitas keluhuran martabat perempuan zaman ini hampir bertolak belakang dengan
kodrat penciptaan. Pelbagai kekerasan yang menimpa kaum perempuan:
diskriminasi, subordinasi dan eksploitasi terhadapnya, telah menempatkan
perempuan pada tingkatan yang tidak diperhitungkan. Ia dibuat hingga kehilangan
kelasnya. Kehilangan keharusannya untuk berada, bertumbuh dan berkembang.
Kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri di tengah dunia.
Subordinasi yang umumnya dibangun oleh sistem patriarki entah dalam budaya atau
adat tertentu, entah secara pribadi ataupun kelompok, entah disadari atau
tidak, menempatkan perempuan pada posisi underdog. Keberadaannya lebih dilihat
sebagai tambahan untuk melengkapi satu bagian yang kurang pada diri lelaki.
Olehnya, perempuan sering dipandang tidak penting. Banyak alasan yang mencoba
mendepak perempuan ke pinggir dunia kehidupannya sendiri: perempuan adalah
makhluk yang lemah, yang tak dapat berbuat lebih. Perempuan lebih menekankan
perasaan dan insting ketimbang rasionalitas. Perempuan sumber dosa dan bencana,
olehnya sejarah firdaus berbalik menjadi sejarah penderitaan demi penderitaan.
Kita menjadi tidak beda dengan manusia-manusia masa lalu yang mengunci pintu
bagi pengakuan keluhuran martabat perempuan.

Orang-orang Yahudi pada abad sebelum masehi melihat perempuan sebagai sumber
dosa. Ia tidak memiliki nilai sama sekali. Ia hanya memiliki harga jual,karena
ia diperhitungkan sebagai barang atau harta milik suami. Demikian pun
pemikir-pemikir besar seperti Plato, Aristoteles dan Tertulianus. Mereka secara
ekstrem menilai adanya perempuan sebagai makhluk yang tak berguna. Plato
misalnya, menegaskan bahwa nasib malang yang menimpa kaum lelaki hanya bila ia
direinkarnasi sebagai wanita. Atau Aristoteles, menganggap perempuan sebagai
jenis pria yang tidak lengkap. Tertulianus dengan latar budaya dan filsafat,
kemudian melengkapi pandangan ekstrem ini dengan menulis: "kau (perempuan)
adalah pintu masuk iblis. Kau perusak meterai pohon yang terlarang. Kau
pelanggar pertama hukum Ilahi .."

Di sini, martabat kaum perempuan sungguh-sungguh dipertanyakan ketika
berhadapan dengan dominasi kaum lelaki. Martabat mereka adalah ketiadaan
martabat. Tidak ada nilai luhur yang ditemukan dalam diri perempuan: dia adalah
pria yang tidak lengkap dan pintu masuk iblis. Dia adalah sumber bencana dan
pelanggar hukum Ilahi. Plato, Aristoteles dan Tertulianus telah mencoreng citra
perempuan dengan gagasannya yang aprioristis. Mereka membingkai wajah sayu
perempuan dengan pemikiran-pemikiran yang solipsistis: yang ada, yang bernilai
dan yang bermartabat hanyalah aku/lelaki. Totalitas gagasan mereka boleh
dikatakan mewakili pandangan dunia zaman itu. Namun bagaimanapun, itu adalah
gagasan yang dibuat manusia. Tuhan tidak pernah menghendaki adanya pertentangan
yang sedemikian tajam. Kesadaran yang Ia tumbuhkan dalam diri manusia adalah
kesadaran untuk memahami kodrat penciptaan. Menyadari kodrat penciptaan berarti
menyadari kesetaraan, keterkaitan dan keterarahan segenap komponen tercipta.
Kodrat penciptaan membentuk sebuah harmoni universum yang tak dapat dikhianati:
manusia sejak permulaan diciptakan secitra dengan Allah; perempuan diciptakan
dari rusuk seorang lelaki; dan adanya mereka adalah untuk 'memaknai' dunia.

Dengan berkaca pada realitas keterpurukan kaum perempuan oleh karena kekerasan
dan subordinasi yang dibuat, dapat kita katakan bahwa pandangan ekstrem di atas
masih juga mempengaruhi orang-orang zaman ini. Kekerasan dalam rumah tangga,
pelecehan terhadap kaum perempuan, pemerkosaan, pembunuhan, pelacuran,
perdagangan perempuan yang marak belakangan ini, membenarkan kalau kita pun
berpihak kepada pandangan-pandangan ekstrem itu. Tak heran bila kemudian muncul
gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender. Terlepas dari visi dan
misinya, gerakan ini berupaya menempatkan kembali eksistensi perempuan pada
sisi lelaki. Mereka memperjuangkan pengakuan kembali martabat perempuan sebagai
partner yang penting dan yang menyempurnakan. Perjuangan mereka di sini adalah
perjuangan untuk kembali ke kodrat penciptaan, kembali kepada pengakuan bahwa
sejak permulaan manusia diciptakan sederajat. Ia memiliki martabatnya. Martabat
perempuan ada secara luhur dalam dirinya dan tidak bisa dimanipulasi oleh
siapapun dan pandangan apa pun. Martabat itu asli, luhur dan agung. Ia tidak
ditentukan oleh rasionalitas yang lain di luar dirinya. Dengan demikian,
perjuangan kepada pengakuan keluhuran martabat perempuan merupakan sebuah
perjuangan penegakan hak asasi manusia. Karena hak itu bersifat mendasar, maka
pelanggaran/pelecehan terhadapnya perlu ditindak secara hukum.

Laki-laki atau lebih tepatnya sistem patriarki sering dituding sebagai biang
pelbagai praktek subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka dituding
sebagai subyek yang harus bertanggung jawab atas semua yang menimpa kaum
perempuan. Tudingan ini tidak salah karena banyak praktek pelecehan martabat
perempuan dipentaskan oleh lelaki. Cuma perlu dipertanyakan, apakah perempuan
sendiri telah menghargai kodrat dan martabatnya sebagai seorang perempuan? Pada
kenyataan, perjuangan pencapaian keluhuran martabat perempuan sering
berbenturan dengan sikap/tata cara, perkataan, tindakan dan profesi perempuan
sendiri. Cara berpakaian yang melanggar kesusilaan, pelacuran, gerakan-gerakan
erotis dan streaptise, pergaulan bebas, semuanya merendahkan dan menodai citra
dirinya.

Kontroversi Inul Daratista dapat diangkat sebagai contoh. Oleh sementara orang,
penampilan (busana dan koreo) Inul - penyayi dangdut yang dikenal dengan goyang
ngebor - dinilai melanggar kesusilaan. Tata ketimuran sama sekali bertolak
belakang dengan penampilan seronok semisal itu. Inul dinilai tidak sopan dalam
berpakaian. Aksi panggungnya diklaim sebagai pembangkit birahi. Ia lebih
menonjolkan keindahan dan kelenturan tubuh daripada unsur substansial yang
dibutuhkan seorang penyayi. Meski penilaian ini terkesan subyektif (setiap
orang boleh memberikan penilaiannya secara berbeda), namun ada nilai positif
yang dipetik. Pertama, masih ada orang yang tampil sebagai pengontrol kehidupan
moral etis bersama. Kedua, masih ada orang yang merasa terganggu dengan
penampilan seronok seperti itu. Ketiga, masih ada orang yang berusaha menjaga
citra budaya ketimuran. Keempat, masih ada orang yang memikirkan keluhuran
martabat perempuan. Kelima, martabat perempuan dipandang luhur dan agung karena
itu tampil seronok semisal Inul sebenarnya merusak citra diri perempuan
sendiri. Dan memang penampilan Inul yang demikian, secara moral etis merusak
keluhuran martabat perempuan Indonesia seluruhnya.

Martabat seorang perempuan adalah kriteria tertinggi yang menentukan eksistensi
seorang perempuan. Martabat dengan demikian harus diperjuangkan, dijaga dan
dipertahankan. Keluhuran dan keagungan martabat perempuan menjadi kebenaran
yang menentukan kesetaraannya dengan lelaki. Kebenaran ini hanya bisa
diperjuangkan oleh perempuan sendiri: menjaga diri, tahu apa yang harus dibuat,
menghargai kodratnya sebagai seorang perempuan, memperjuangkan citranya yang
terpuruk oleh zaman dan belajar lebih banyak guna membekal diri, mencegah
pelbagai kemungkinan subordinasi dan kekerasan terhadapnya.

Seorang perempuan yang bermartabat adalah dia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kesopanan, keadaban dan nilai-nilai kodrati seorang perempuan.
Seorang perempuan yang bermartabat adalah dia yang tidak dengan tergesa
melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Meski dalam kenyataan sistem patriarki
adalah biang yang menghancurkan eksistensi perempuan, namun seorang perempuan
bermartabat adalah dia yang mampu mencerna kenyataan yang terjadi, memberi
ruang bagi refleksi atasnya dan mengambil sikap yang tepat: apa yang harus
dibuat. Siapa yang benar dan siapa yang salah hanyalah upaya melihat kebenaran
dari keterpurukan yang telah terjadi. Ia memberi sumbangsih berupa hukuman
kepada yang salah dari pelbagai data yang dikumpulkan tetapi tidak menjamin
berakhirnya persoalan. Yang terutama di sini adalah: apa yang harus dibuat agar
perempuan sungguh-sungguh terbebas dari kondisi yang membelenggunya. Masa depan
adalah sebuah rentang waktu yang belum terjamah. Karena itu memikirkan apa yang
harus dibuat adalah antisipasi dini mencegah kemungkinan terulangnya pelbagai
kondisi subordinatif. Belajar dari sejarah, kaum perempuan harus lebih berani
menjaga martabat diri dan kaumnya. Nilai diri dan keberadaan masing-masing
lebih ditentukan oleh diri pribadi, baru kemudian orang lain. Orang lain justru
akan segan berhadapan dengan perempuan bermartabat.

Meski pada kenyataan perempuan kurang dihargai keberadaannya, dan atau ia
sendiri tidak menghargai dirinya sendiri, namun sesuatu yang pantas dibanggakan
adalah bahwa telah ada cahaya-cahaya kecil yang mulai bersinar dari wajah
perempuan-perempuan zaman ini. Mereka telah mengangkat kepala, menatap masa
depan untuk bangkit dari keterpurukannya. Mereka berupaya sedapat mungkin
meyakinkan manusia akan makna keberadaan mereka di tengah dunia. Akan nilai
luhur dalam dirinya yakni martabat yang dimiliki sesuai kodrat penciptaan.
Suatu ajakan bagi manusia untuk bangkit telah diserukan: mari nobatkan
keluhuran budi, marilah kita bersikap seperti kanak-kanak, marilah kita
bersikap jujur, mari kita banggakan kebajikan, dan di atas segala-galanya
janganlah kita tanggalkan kemanusiaan kita.

Dengan keluhuran budi, kejujuran, kebajikan dan humanisme, kita diajak untuk
memandang secara baru dimensi kehidupan perempuan. Perempuan adalah bulan yang
memberi terang di kala kegelapan. Dia adalah rahim yang menjadikan sesuatu
indah. Dia adalah ibu yang menjamin eksistensi dunia. Perempuan adalah mahkota
terindah dalam sejarah peradaban manusia. Karena itu, menyangkal eksistensi
perempuan sama saja dengan menyangkal kodrat penciptaan. Bagaimanapun, adanya
perempuan adalah ada yang memampukan kaum lelaki mengendus sejarah peradaban,
terlempar ke tengah dunia untuk memberi makna terhadap segala sesuatu.
Perempuan menjadi sisi termanis dari kehidupan kaum lelaki, karena rusuk itu
telah mempertemukan keduanya.**

di kutip dari

Oleh Paulus Senoda Hadjon dan

Emiliana Martuti Lawalu *
Saya dan Golkar
03.36 | Author: kenink'
Dra. Erni Yusnita. Tombolotutu, Msi

Tempat tanggal lahir : Palu, 27 juli 1965
Alamat : jl. Banteng BTN Bumi Anggur blok CC/12
No Telp : 0451-485188
Agama : Islam
Status : Menikah
Email : rosonta_kening@yahoo.co.id
blog : http://erniyusnita.blogspot.com
Jabatan dalam partai :
Wakil Ketua DPD I Provinsi Sulawesi Tengah,
Wakil Ketua DPD AMPG Provinsi Sulawesi Tengah,
Wakil Ketua DPD AMPI Provinsi Sulawesi Tengah,
Wakil Sekretaris DPD KPPG Provinsi Sulawesi Tengah,
Wakil Sekretaris DPD HWK Provinsi Sulawesi Tengah,

Kenapa saya memilih Partai GOLKAR ?
Partai berlambang Pohon Beringin ini memiliki Visi dan Misi yang Jelas dan Besar.

Apa Platform Partai GOLKAR ?
Platform Partai GOLKAR

Perlu ditegaskan bahwa dengan visi tersebut, GOLKAR tetap kukuh pada platform perjuangannya. Platform adalah landasan kita berpijak dari mana dan ke arah mana arah perjuangan kita menuju. Platform ini membedakan Partai GOLKAR dengan organisasi kekuatan sosial politik atau partai politik lain.

Platform yang merupakan sikap dasar GOLKAR ini merupakan kristalisasi dari pemahaman, pengalaman dan kesadaran historis GOLKAR dalam membangun bangsa dimasa depan.

* GOLKAR berpijak pada landasan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalama pemahaman ini Golkar baru menolak gagasan negara federal dan setuju dilakukannya pengurangan terhadap kecenderungan sentralisme dalam pengelolaan negara dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah.

* GOLKAR berwawasan kebangsaan . Wawasan kebangsaan adalah satu cara pandang yang mengatasi paham golongan dan kelompok baik atas dasar suku, etnis, agama, bahasa , aliran maupun atas dasar kebudayaan. Dengan wawasan ini, maka semua potensi bangsa mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang secara optimal, sehingga kelompok minoritas sekalipun akan merasa seperti berada di rmahnya sendiri. Potensi-potensi ini bahkan kemudian harus dihimpun sehingga menjadi kekuatan yang besar.

* GOLKAR adalah partai majemuk ( pluralis ). GOLKAR adalah partai yang menampung kemajemukan bangsa Indonesia. Bagi GOLKAR kemajemukan adalah anugerah Tuhan yang membentuk mozaik ke-Indonesia-an yang sangat indah dan mempesona yang berbuhul dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Komitment ini akan dipertahankan oleh GOLKAR sepanjang masa, karena komitment pada keterbukaan dan kemajemukan adalah merupakan komitment pada keterbukaan dan kemajemukan adalah merupakan komitment pada identitas ke-Indonesia-an. Dengan demikian maka GOLKAR tidak sependapat dengan pembelahan masyarakat ( social fragmentation ) berdasarkan sifat primordial dan sektarian. Dengan sikap yang non-aliran dan non-sektarian, GOLKAR mengembangkan perspektif fungsi sehingga pendekatan yang dilakukan adalah berorientasi pada program ( program oriented ) bukan berorientasi ideologi ( ideology oriented).

* GOLKAR adalah partai yang komitment pada demokrasi. Demokrasi yang hendak dibangun adalah "Demokrasi Indonesia", yaitu demokrasi yang dilandaskan pada prinsip dan nilai Pancasila. Golkar Baru menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan yang memperkokoh dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia

* GOLKAR adalah partai yang berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai upaya mewujudkan salah satu tujuan nasional. Peningkaran kesejahteraan itu diwujudkan antara lain dengan meningkatkan taraf hidup dan kecerdasan rakyat secara menyeluruh. Dengan sikap ini GOLKAR mempertegas keberpihakan pada rakyat.

* GOLKAR adalah partai yang komitment pada penegakan hukum, keadilan dan hak-hak asasi manusia. Sebagai partai politik yang hidup di negara yang berdasarkan hukum, maka Golkar senantiasa mengupayakan terwujudnya supremasi hukum di segala bidang. Komitment ada penegakan hukum, keadilan, dan hak-hak asasi manusia ditempatkan sebagai pilar utama dalam rangka mewujudkan pemerintahan dan tata kehidupan bernegara yang demokratis, konstitusional dan berdasarkan hukum.

* GOLKAR adalah partai yang senantiasa mendasarkan gerak langkahnya pada nilai-nilai etika dan moralitas berdasarkan ajaran agama . Etika dan moralitas adalah saripati agama dan buah dari keberagamaan itu sendiri. Dengan komitment ini GOLKAR menempatkan keimanan dan ketakwaan sebagai salah satu asas pembangunan. Dalam persepsi yang demikian maka agama menempati kedudukan yang sangat penting karena agama memiliki fungsi motivatif, inspiratif, dan sublimatif.

* GOLKAR adalah Partai yang dalam setiap gerak langkahnya senantiasa berpijak pada wawasan pembaharuan dan pembangunan yang telah menjadi sikap dasar GOLKAR sejak kelahirannya, bahkan menjadi salah satu butir dari nilai-nilai dasar GOLKAR seperti tercantum dalam Ikrar Panca Bhakti Golongan Karya "GOLKAR adalah pelopor Pembaharuan dan Pembangunan". Sikap dasar ini membawa GOLKAR senantiasa mendorong gerakan reformasi secara menyeluruh yang dilangsungkan secara gradual , inkremental, dan konstitusional.


Sumber: BIK Partai Golkar
Apa itu Pemilu
00.45 | Author: kenink'
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.Sistem pemilu digunakan adalah asas luber dan jurdil

Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.

Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.

Pemilihan Umum di Indonesia
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

Sepanjang sejarah Republik Indonesia, telah terjadi 9 kali pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 (pemilu anggota DPD pertama)

Pemilu 1955

Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

* Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
* Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.


Pemilu 1971


Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 10 partai politik.

Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

Pemilu Orde Baru (1977-1997)

Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Berikut adalah tanggal-tanggal diadakannya pemungutan suara pada Pemilu periode ini.

* 2 Mei 1977
* 4 Mei 1982
* 23 April 1987
* 9 Juni 1992
* 29 Mei 1997

Pemilu 1999

Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.

Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.

Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.


Pemilu 2004


Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.

Pemilu 2009


Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden


Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004.

Pemilu 2004

Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.

Pemilu 2009

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005.

Selengkapnya disini.

1. Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
1.1 Pemilu 1955
1.2 Pemilu 1971
1.3 Pemilu Orde Baru (1977-1997)
1.4 Pemilu 1999
1.5 Pemilu_2004
1.6 Pemilu 2009
2 Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
2.1 Pemilu 2004
2.2 Pemilu 2009
3 Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah