SEJAK permulaan, manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki
dan perempuan disebut sebagai Adam (tanah) dan Hawa untuk menjelaskan kodrat
manusiawinya yang rapuh, yang tidak bisa sendiri, harus senantiasa
disempurnakan baik oleh rahmat Tuhan maupun oleh yang lain. Keduanya diciptakan
secitra dengan Allah, diberkati dan diberi kuasa untuk 'menaklukkan' dunia
(Kejadian 1:28). Penaklukan dunia dimengerti sebagai upaya memelihara, menata
dan mengolah dunia seturut kehendak Pencipta. Penaklukkan sama sekali tidak
berarti pendominasian seseorang (the I) terhadap yang lain sebab segenap
makhluk berada dalam harmoni ciptaan yang saling menyempurnakan. Laki-laki dan
perempuan ada dan berada di tengah dunia untuk maksud ini. Keberadaan mereka
membuat dunia yang semula anonim menjadi terang, dimengerti dan diidentifikasi.
Adanya mereka adalah ada untuk memberi makna kepada dunia.

Dasein Heidegger yakni berada di tengah dunia, mencoba menjelaskan makna yang
diberikan manusia terhadap dunia setelah momen keterlemparannya. Menurutnya,
dunia hanya dapat dimengerti dan dimaknai oleh manusia. Ia berada tepat di
tengah-tengah bukan untuk mendominasi ataupun mengembalikan segala sesuatu
kepada dirinya (totum) tetapi untuk memahami apa yang mesti dilakukan terhadap
yang lain di sekitarnya. Di sini, eksistensi manusia menuntut sebuah tanggung
jawab besar terhadap alam dan sesamanya. Ia menanggung sebuah jawaban pasti
terhadap yang lain di hadapannya. Laki-laki dipanggil untuk menjaga, melindungi
dan akhirnya bersatu dengan perempuan partner hidupnya. Perempuan dipanggil
untuk hidup berdampingan secara damai dengan laki-laki tanpa ada 'penaklukan'
yang sesungguhnya, sebab rusuk itu telah menyetarakan keduanya. Panggilan
mereka adalah panggilan untuk memelihara harmoni universum yang sejak permulaan
penciptaan telah ditata sedemikian menakjubkan oleh Allah. Laki-laki dan
perempuan dengan demikian berada dalam kesetaraan martabat yang tidak bisa
dianulir oleh apa dan siapapun. Kesetaraan martabat mereka didasari oleh kodrat
penciptaan: bahwa Allah menjadikan keduanya secitra denganNya (Kej. 1:26), dan
dari rusuk laki-laki dibangunNyalah seorang perempuan (Kej 1: 22).

Kesetaraan ini pada hemat kami, sama sekali tidak menyangkal perbedaan kodrati
yang ada pada keduanya. Perbedaan kodrati laki-laki dan perempuan terlahir
darialam mereka yang berbeda. Perempuan memiliki kemungkinan alamiah untuk
menjadi ibu/melahirkan, sementara laki-laki memiliki kesanggupan untuk bekerja
fisis secara lebih berat. Namun perbedaan yang ada sebagai penentuan alam harus
dipakai untuk saling melengkapi dan bukan untuk saling menindas. Refleksi atas
perbedaan yang ada, membawa kita kepada kesadaran baru bahwa setiap pribadi
khas dalam dirinya dan memiliki perannya sendiri dalam mengembangkan dunia.
Dunia justru semakin menarik untuk dilakoni ketika disadari betapa pentingnya
kekhasan/perbedaan yang ada pada setiap pribadi. Mereka dapat saling menjaga
dan menyempurnakan. Mereka dapat saling memberi dan menerima. Mereka juga dapat
saling mengakui kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tidak ada yang menjadi
tuan atau budak atas yang lain. Dalam terang ini, Matthew Henry pernah berkata:
"Hawa bukan diambil dari kaki Adam untuk menjadi budak belianya. Bukan pula
dari kepalanya untuk menjadi tuannya, melainkan dari sisinya untuk menjadi
temannya, di bawah lengannya supaya terlindung dan dekat jantungnya untuk
dikasihi".

Henry sebenarnya menegaskan posisi perempuan di tengah dunia. Secara kodrati,
laki-laki dan perempuan diciptakan sederajat. Perempuan dibentuk dari rusuk
lelaki, yang diambil dari sisinya, bukan kepala atau kaki. Perempuan diciptakan
justru sebagai partner kaum lelaki dan bukan hamba atau tuannya. Tak ada klaim
yang dapat membantah kebenaran ini. Penyangkalan terhadap keberadaan dan
martabat perempuan merupakan penyangkalan terhadap kodrat penciptaan

Realitas keluhuran martabat perempuan zaman ini hampir bertolak belakang dengan
kodrat penciptaan. Pelbagai kekerasan yang menimpa kaum perempuan:
diskriminasi, subordinasi dan eksploitasi terhadapnya, telah menempatkan
perempuan pada tingkatan yang tidak diperhitungkan. Ia dibuat hingga kehilangan
kelasnya. Kehilangan keharusannya untuk berada, bertumbuh dan berkembang.
Kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri di tengah dunia.
Subordinasi yang umumnya dibangun oleh sistem patriarki entah dalam budaya atau
adat tertentu, entah secara pribadi ataupun kelompok, entah disadari atau
tidak, menempatkan perempuan pada posisi underdog. Keberadaannya lebih dilihat
sebagai tambahan untuk melengkapi satu bagian yang kurang pada diri lelaki.
Olehnya, perempuan sering dipandang tidak penting. Banyak alasan yang mencoba
mendepak perempuan ke pinggir dunia kehidupannya sendiri: perempuan adalah
makhluk yang lemah, yang tak dapat berbuat lebih. Perempuan lebih menekankan
perasaan dan insting ketimbang rasionalitas. Perempuan sumber dosa dan bencana,
olehnya sejarah firdaus berbalik menjadi sejarah penderitaan demi penderitaan.
Kita menjadi tidak beda dengan manusia-manusia masa lalu yang mengunci pintu
bagi pengakuan keluhuran martabat perempuan.

Orang-orang Yahudi pada abad sebelum masehi melihat perempuan sebagai sumber
dosa. Ia tidak memiliki nilai sama sekali. Ia hanya memiliki harga jual,karena
ia diperhitungkan sebagai barang atau harta milik suami. Demikian pun
pemikir-pemikir besar seperti Plato, Aristoteles dan Tertulianus. Mereka secara
ekstrem menilai adanya perempuan sebagai makhluk yang tak berguna. Plato
misalnya, menegaskan bahwa nasib malang yang menimpa kaum lelaki hanya bila ia
direinkarnasi sebagai wanita. Atau Aristoteles, menganggap perempuan sebagai
jenis pria yang tidak lengkap. Tertulianus dengan latar budaya dan filsafat,
kemudian melengkapi pandangan ekstrem ini dengan menulis: "kau (perempuan)
adalah pintu masuk iblis. Kau perusak meterai pohon yang terlarang. Kau
pelanggar pertama hukum Ilahi .."

Di sini, martabat kaum perempuan sungguh-sungguh dipertanyakan ketika
berhadapan dengan dominasi kaum lelaki. Martabat mereka adalah ketiadaan
martabat. Tidak ada nilai luhur yang ditemukan dalam diri perempuan: dia adalah
pria yang tidak lengkap dan pintu masuk iblis. Dia adalah sumber bencana dan
pelanggar hukum Ilahi. Plato, Aristoteles dan Tertulianus telah mencoreng citra
perempuan dengan gagasannya yang aprioristis. Mereka membingkai wajah sayu
perempuan dengan pemikiran-pemikiran yang solipsistis: yang ada, yang bernilai
dan yang bermartabat hanyalah aku/lelaki. Totalitas gagasan mereka boleh
dikatakan mewakili pandangan dunia zaman itu. Namun bagaimanapun, itu adalah
gagasan yang dibuat manusia. Tuhan tidak pernah menghendaki adanya pertentangan
yang sedemikian tajam. Kesadaran yang Ia tumbuhkan dalam diri manusia adalah
kesadaran untuk memahami kodrat penciptaan. Menyadari kodrat penciptaan berarti
menyadari kesetaraan, keterkaitan dan keterarahan segenap komponen tercipta.
Kodrat penciptaan membentuk sebuah harmoni universum yang tak dapat dikhianati:
manusia sejak permulaan diciptakan secitra dengan Allah; perempuan diciptakan
dari rusuk seorang lelaki; dan adanya mereka adalah untuk 'memaknai' dunia.

Dengan berkaca pada realitas keterpurukan kaum perempuan oleh karena kekerasan
dan subordinasi yang dibuat, dapat kita katakan bahwa pandangan ekstrem di atas
masih juga mempengaruhi orang-orang zaman ini. Kekerasan dalam rumah tangga,
pelecehan terhadap kaum perempuan, pemerkosaan, pembunuhan, pelacuran,
perdagangan perempuan yang marak belakangan ini, membenarkan kalau kita pun
berpihak kepada pandangan-pandangan ekstrem itu. Tak heran bila kemudian muncul
gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender. Terlepas dari visi dan
misinya, gerakan ini berupaya menempatkan kembali eksistensi perempuan pada
sisi lelaki. Mereka memperjuangkan pengakuan kembali martabat perempuan sebagai
partner yang penting dan yang menyempurnakan. Perjuangan mereka di sini adalah
perjuangan untuk kembali ke kodrat penciptaan, kembali kepada pengakuan bahwa
sejak permulaan manusia diciptakan sederajat. Ia memiliki martabatnya. Martabat
perempuan ada secara luhur dalam dirinya dan tidak bisa dimanipulasi oleh
siapapun dan pandangan apa pun. Martabat itu asli, luhur dan agung. Ia tidak
ditentukan oleh rasionalitas yang lain di luar dirinya. Dengan demikian,
perjuangan kepada pengakuan keluhuran martabat perempuan merupakan sebuah
perjuangan penegakan hak asasi manusia. Karena hak itu bersifat mendasar, maka
pelanggaran/pelecehan terhadapnya perlu ditindak secara hukum.

Laki-laki atau lebih tepatnya sistem patriarki sering dituding sebagai biang
pelbagai praktek subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka dituding
sebagai subyek yang harus bertanggung jawab atas semua yang menimpa kaum
perempuan. Tudingan ini tidak salah karena banyak praktek pelecehan martabat
perempuan dipentaskan oleh lelaki. Cuma perlu dipertanyakan, apakah perempuan
sendiri telah menghargai kodrat dan martabatnya sebagai seorang perempuan? Pada
kenyataan, perjuangan pencapaian keluhuran martabat perempuan sering
berbenturan dengan sikap/tata cara, perkataan, tindakan dan profesi perempuan
sendiri. Cara berpakaian yang melanggar kesusilaan, pelacuran, gerakan-gerakan
erotis dan streaptise, pergaulan bebas, semuanya merendahkan dan menodai citra
dirinya.

Kontroversi Inul Daratista dapat diangkat sebagai contoh. Oleh sementara orang,
penampilan (busana dan koreo) Inul - penyayi dangdut yang dikenal dengan goyang
ngebor - dinilai melanggar kesusilaan. Tata ketimuran sama sekali bertolak
belakang dengan penampilan seronok semisal itu. Inul dinilai tidak sopan dalam
berpakaian. Aksi panggungnya diklaim sebagai pembangkit birahi. Ia lebih
menonjolkan keindahan dan kelenturan tubuh daripada unsur substansial yang
dibutuhkan seorang penyayi. Meski penilaian ini terkesan subyektif (setiap
orang boleh memberikan penilaiannya secara berbeda), namun ada nilai positif
yang dipetik. Pertama, masih ada orang yang tampil sebagai pengontrol kehidupan
moral etis bersama. Kedua, masih ada orang yang merasa terganggu dengan
penampilan seronok seperti itu. Ketiga, masih ada orang yang berusaha menjaga
citra budaya ketimuran. Keempat, masih ada orang yang memikirkan keluhuran
martabat perempuan. Kelima, martabat perempuan dipandang luhur dan agung karena
itu tampil seronok semisal Inul sebenarnya merusak citra diri perempuan
sendiri. Dan memang penampilan Inul yang demikian, secara moral etis merusak
keluhuran martabat perempuan Indonesia seluruhnya.

Martabat seorang perempuan adalah kriteria tertinggi yang menentukan eksistensi
seorang perempuan. Martabat dengan demikian harus diperjuangkan, dijaga dan
dipertahankan. Keluhuran dan keagungan martabat perempuan menjadi kebenaran
yang menentukan kesetaraannya dengan lelaki. Kebenaran ini hanya bisa
diperjuangkan oleh perempuan sendiri: menjaga diri, tahu apa yang harus dibuat,
menghargai kodratnya sebagai seorang perempuan, memperjuangkan citranya yang
terpuruk oleh zaman dan belajar lebih banyak guna membekal diri, mencegah
pelbagai kemungkinan subordinasi dan kekerasan terhadapnya.

Seorang perempuan yang bermartabat adalah dia yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kesopanan, keadaban dan nilai-nilai kodrati seorang perempuan.
Seorang perempuan yang bermartabat adalah dia yang tidak dengan tergesa
melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Meski dalam kenyataan sistem patriarki
adalah biang yang menghancurkan eksistensi perempuan, namun seorang perempuan
bermartabat adalah dia yang mampu mencerna kenyataan yang terjadi, memberi
ruang bagi refleksi atasnya dan mengambil sikap yang tepat: apa yang harus
dibuat. Siapa yang benar dan siapa yang salah hanyalah upaya melihat kebenaran
dari keterpurukan yang telah terjadi. Ia memberi sumbangsih berupa hukuman
kepada yang salah dari pelbagai data yang dikumpulkan tetapi tidak menjamin
berakhirnya persoalan. Yang terutama di sini adalah: apa yang harus dibuat agar
perempuan sungguh-sungguh terbebas dari kondisi yang membelenggunya. Masa depan
adalah sebuah rentang waktu yang belum terjamah. Karena itu memikirkan apa yang
harus dibuat adalah antisipasi dini mencegah kemungkinan terulangnya pelbagai
kondisi subordinatif. Belajar dari sejarah, kaum perempuan harus lebih berani
menjaga martabat diri dan kaumnya. Nilai diri dan keberadaan masing-masing
lebih ditentukan oleh diri pribadi, baru kemudian orang lain. Orang lain justru
akan segan berhadapan dengan perempuan bermartabat.

Meski pada kenyataan perempuan kurang dihargai keberadaannya, dan atau ia
sendiri tidak menghargai dirinya sendiri, namun sesuatu yang pantas dibanggakan
adalah bahwa telah ada cahaya-cahaya kecil yang mulai bersinar dari wajah
perempuan-perempuan zaman ini. Mereka telah mengangkat kepala, menatap masa
depan untuk bangkit dari keterpurukannya. Mereka berupaya sedapat mungkin
meyakinkan manusia akan makna keberadaan mereka di tengah dunia. Akan nilai
luhur dalam dirinya yakni martabat yang dimiliki sesuai kodrat penciptaan.
Suatu ajakan bagi manusia untuk bangkit telah diserukan: mari nobatkan
keluhuran budi, marilah kita bersikap seperti kanak-kanak, marilah kita
bersikap jujur, mari kita banggakan kebajikan, dan di atas segala-galanya
janganlah kita tanggalkan kemanusiaan kita.

Dengan keluhuran budi, kejujuran, kebajikan dan humanisme, kita diajak untuk
memandang secara baru dimensi kehidupan perempuan. Perempuan adalah bulan yang
memberi terang di kala kegelapan. Dia adalah rahim yang menjadikan sesuatu
indah. Dia adalah ibu yang menjamin eksistensi dunia. Perempuan adalah mahkota
terindah dalam sejarah peradaban manusia. Karena itu, menyangkal eksistensi
perempuan sama saja dengan menyangkal kodrat penciptaan. Bagaimanapun, adanya
perempuan adalah ada yang memampukan kaum lelaki mengendus sejarah peradaban,
terlempar ke tengah dunia untuk memberi makna terhadap segala sesuatu.
Perempuan menjadi sisi termanis dari kehidupan kaum lelaki, karena rusuk itu
telah mempertemukan keduanya.**

di kutip dari

Oleh Paulus Senoda Hadjon dan

Emiliana Martuti Lawalu *